Hukum Sihir dan Tukang Sihir
HUKUM SIHIR DAN TUKANG SIHIR[1]
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ اللهُ
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa sihir itu memiliki hakekat dan meyakini bahwa hak ini benar-benar ada, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah.
Dalil-dalil dari Al-Qur-an:
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaithan-syaithan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaithan-syaithan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang Malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.’ Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Dan sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (Kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” [Al-Baqarah/2: 102]
Menurut bahasa (etimologi), sihir berarti sesuatu yang halus dan tersembunyi.
Sedangkan menurut syar’i (terminologi) sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Muhammad ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi (wafat th. 620 H) rahimahullah, ia berkata: “Sihir adalah jimat-jimat, jampi-jampi, mantera-mantera dan buhul-buhul (yang ditiup) yang dapat berpengaruh pada hati, akal dan badan. Maka sihir dapat menyakiti, membunuh dan memisahkan suami dengan istrinya, membuat orang saling membenci, atau membuat dua orang saling mencintai.”[2]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ
“Aku berlindung dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus dari buhul-buhul.” [Al-Falaq/113: 4]
Sihir adalah tipu daya syaithan melalui walinya (tukang sihir, dukun, paranormal, orang pintar, dan lain-lain). Sihir mempunyai hakikat dan pengaruh, karena itu kita diperintahkan berlindung kepada Allah dari pengaruh sihir. Sihir, guna-guna dan lainnya tidak akan mengenai seseorang kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ
“Dan mereka itu (tukang sihir itu) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah.” [Al-Baqarah/2: 102]
Pada hakekatnya sihir dan tipu daya syaithan sangat lemah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
“Sesungguhnya tipu daya syaithan itu adalah lemah.” [An-Nisaa’/4: 76]
Jumhur Ulama menetapkan bahwa tukang sihir harus dibunuh. Seperti halnya pendapat madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad dalam riwayat yang dinukil dari mereka. Demikianlah (hukum) yang terwarisi dari para Sahabat, seperti ‘Umar bin al-Khaththab dan anaknya Radhiyallahu anhuma, ‘Utsman Radhiyallahu anhu dan lain-lain. Namun kemudian mereka berselisih pendapat : Apakah tukang (sihir itu) diperintahkan untuk bertaubat terlebih dahulu atau tidak? Apakah orang itu menjadi kafir dengan sihirnya itu? Atau ia dibunuh hanya karena kerjanya yang menimbulkan kerusakan di muka bumi?
Ada sebagian ulama mengatakan: “Kalau dengan sihirnya ia membunuh orang, maka ia pun dibunuh; kalau tidak, cukup ia dihukum, namun tidak sampai mati.” Itu seandainya dalam perkataan maupun amalannya tidak terdapat kekufuran (yang nyata). Demikian pendapat yang dinukil dari Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan salah satu pendapat dalam madzhab Imam Ahmad rahimahullah.
Sebagian ulama Salaf berpendapat bahwa tukang sihir kafir dan belajar sihir hukumnya haram. Para sahabat Imam Ahmad menyatakan kafir bagi orang yang belajar dan mengajarkannya.[3]
Sihir adalah dosa besar yang membinasakan seseorang di dunia dan akhirat. Tukang sihir tidak akan bahagia di mana saja ia berada dan tidak akan tenang hidupnya selama-lamanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ
“Dan tidak akan menang tukang sihir itu, darimana saja ia datang.” [Thaahaa/20: 69]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اِجْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: اَلشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ.
‘Jauhilah tujuh perkara yang membawa kepada kehancuran.’ Para Sahabat berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah tujuh perkara itu?’ Beliau berkata:
- ‘Syirik kepada Allah,
- Sihir,
- Membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan sebab yang dibenarkan oleh agama,
- Memakan riba,
- Memakan harta anak yatim,
- Membelot (desersi) dalam peperangan, dan
- Melontarkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita mukminah yang terjaga dari perbuatan dosa sedangkan ia tidak tahu menahu tentangnya.’” [4]
Hukuman bagi tukang sihir adalah dipenggal lehernya (dibunuh). Sebagaimana telah dilakukan oleh Sahabat ‘Umar bin al-Khaththab, Jundub dan Hafshah binti ‘Umar Radhiyallahu anhum.[5]
Namun yang melaksanakan hukum tersebut adalah pemerintah Islam setelah melalui proses pengadilan.
[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1] Lihat Fat-hul Majiid Syarah Kitaabit Tauhiid bab 23 tentang Sihir (hal. 315-323), bab 24 tentang Macam-Macam Sihir (hal. 325-332), Manhajul Imaam asy-Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (I/221-224), ash-Shaarimul Battaar fit Tashaddi lis Saharatil Asyraar oleh Syaikh Wahid ‘Abdus Salam Baali, Fat-hul Haqqil Mubiin fii ‘Ilaajish Shar’i was Sihri wal ‘Ain oleh Dr. ‘Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, dan Mukhtashar Ma’aarijil Qabuul.
[2] Al-Mughni (XII/131) oleh Abu Muhammad al-Maqdisi, cet. I, Daarul Hadits-Kairo, th. 1425 H. Kitab ini dicetak berikut syarahnya, asy-Syarhul Kabiir.
[3] Lihat al-Mughni (XII/132-134) oleh Abu Muhammad al-Maqdisi dan Mukhtashar Ma’aarijil Qabuul (hal. 145-146).
[4] HR. Al-Bukhari (no. 2766, 5764, 6857) dan Muslim (no. 89), dari Sahabat Abu Hurairah Rahiyallahu anhu
[5] Lihat al-Mughni (XII/134-135), Majmuu’ Fataawaa (XXIX/384) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Mukhtashar Ma’aarijil Qabuul (hal. 146-148)
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/34413-hukum-sihir-dan-tukang-sihir-2.html